Jawaban
Untuk Anggita
Bali, Akhir 2011
Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada
diriku sendiri, mengapa dan entah bagaimana selama tiga tahun ini aku
menunggunya dalam ketidakpastian.
“Jadi, abis wisuda ini km mau kemana ta?”
tanya Desak pada ku disela-sela aktivitasnya mengaduk-aduk kopi di kedai
Jimbaran pada sore itu.
“Masih belum tau aku sak hehehe” Jawabku
ringan. Padahal saat aku mengucapkan kalimat itu otak ku ikut berpikir tentang
lamaran pekerjaan disalah satu stasiun televisi swasta di Surabaya dan juga
berpikir tentang Galih, kapan dia kembali?.
“Oi, ta ! yee malah ngelamun”. Seruan desak
membangunkan lamunanku.
“Aku Cuma lagi mikir sak, sekali-kali kasih
aku waktu mikir sak biar ini otak pernah dipake hehehe”. Timpal ku.
“eh ta, trus cowo mu gimana kabarnya ta?
Sejak katanya dia balik ke Jakarta kamu ga pernah cerita lagi soal dia ke aku”
Aku menyandarkan bahuku ke punggung kursi dan
mengulas senyum untuknya.
“Baik-baik aja kok sak”. Kataku bohong pada
sosok dengan kecantikan khas Bali yang telah menjadi teman ku sejak semester
pertamaku masuk kuiah ini.
“eh ta, kamu inget si yosi yang pernah ku
ceritain ke kamu tuh?”
“inget, knapa sak?”
“yakali, dia ngajakin aku jadian lagi”
“hahaha terus?”
“aku tolak ta, umur segini bukan waktunya
buat main-main lagi, aku males sama cowo yang ga ngasih kepastian kayak si yosi
itu. Sekarang waktunya kita buat mapan ta, trus nikah, hahaha”
Aku bergeming sejenak. Dalm pikiranku Desak
yang notabene bukan seorang muslim pun mempunyai pemikiran yang seharusnya
dipikirkan oleh kaum muslim seumuranku. Mapankan hidup, Jauhi pacaran, dan cari
kepastian.
“sak” sapaku lirih.
“kenapa ta?” Desak menjauhka gelas dari
bibirnya.
“kayaknya aku mau ke Jakarta sak”
“Ngapain ta? Mau ke tempat si Galih? Ceileeeh
akhirnya kamu berani bertindak hahah”
Tiba-tiba desak menghentikan tawa riaangnya
saat menatapku dalam.
“Eh tunggu, kok tiba-tiba kamu mau ke
Jakarta? Bukan hanya sekedar kangen atau pengen ketemu kan? Ada apa ta?”
Aku melebarkan senyumku, karena ku pikir
senyum bisa menyembunyikan kesakitan hatiku. “Pengen ketemu aja kok sak, udah 3
tahun aku ga ketemu dia, kamu kira ga kangen apa?”. Sangkal ku masih dengan
senyum lebar.
“Serius ta?”. Tanya Desak serius.
“Serius tau !”. kataku sambil melempar tissue
kearahnya.
“Eh, kalo kamu ke Jakarta aku ikut yaa”
“Ayuk, aku malah seneng kalo ada temen buat
ke Jakarta”
“Emang di Jakarta kamu punya saudara? Ga
mungkin kan kita lontang lantung disana?”
“Hahahaha, Aku punya salah satu temen yang
masih di Jakarta, namanya Arin. Temen SMP ku”
“Oh bagus deh” katanya sambil menghisap lagi
kopi pahit kesukaannya.
Setelah kami
menghabiskan hidangan yang telah kami pesan kami sepakat untuk kembali ke rumah
masing-masing. Desak balik ke Tabanan sedangkan aku balik ke rumahku sendiri
yang masih dikawasan Jimbaran.
Segera sesampainya di rumah aku membuka
laptop dan mencari tiket pesawat dengan tanggal terdekat. “Yap, dapet”. Aku
memesan 2 tiket pesat penerbangan seminggu lagi. Untuk ku dan untuk Desak.
“Hallo rin” aku menelpon Arin, sahabatku
sejak SMP.
“Hallo, ta assalammualaikum” jawabnya
disebrang sana.
“Oh waalaikumussalam rin”
“Kenapa ta? Tumben nelpon, basanya kan kamu
paling hemat sama pulsa hahah”
“Dih, ngga gitu juga kali rin”
“Jadi kenapa nih?”
“kamu masih di Jakarta rin?”
“Masih ta, masih, kenapa? Kamu mau ke
Jakarta?”
“Iya rin, aku mau ke Jakarta. Aku kangen sama
kamu”
“Bohongnya ngga usah kelewatan ta, ku lempar
duit dari sini nih”
“hahaha Aku mau main aja rin kesana sama
temenku” ucapku. “pengen ketemu juga sama Galih” ucapku alam hati.
“Oh boleh banget ta, jadi kapan kamu terbang
dari Bali?”
“Aku udah pesen tiket minggu depan rin”
“Oke ta, ntar aku jempu di Bandara, kabar2
aja lagi yah. Ini aku mau ngajar ta, bisa ku tutup kan telponnya?”
“Sok romantis banget kamu rin, biasanya juga
langsung lihutup”
“Haahha, iya yah? Yaudah ku tutup sekarang,
Assalamualaikum”
Belum sempat aku menjawab salamnya, Arin
sudah menghilang entah kemana bersamaan dengan bunyi Tuut tuuut di handpone ku.
Aku merebahkan tubuhku diatas kasur,
merenggangkan semua otot yang rasanya aku baru ikut Romusha. dan tiba-tiba aku
teringat.
“Oia, aku
belum bilang ke orang rumah kalo aku mau ke Jakarta minggu depan”. Aku berdiri
dari kasurku dan melangkah keluar kamar menemui kakak dan ponakanku. Aku
mengungapkan keinginanku untuk berangakat ke Jakarta minggu depan. Awalnya
kakak menolak mentah-mentah keinginanku tersebut, tapi karena aku berbohong
bahwa aku sudah membayar tiket keberangkatannya dan dengan dalih bahawa aku
disana bersama Arin, dengan berat hati izin pun ku dapatkan. “Yesssss” kataku
dalam hati sembari membuka pintu kamarku.
Sesampainya aku di Bandara, mata ku sediki
silau dengan tulisan Arial dengan ukuran lebih dari 72pt diatas kertas karton
kuning yang isinya “WELCOME TO JAKARTA ANGGITA AND DESAK, HERE I AM” dengan
sedikir emoticon kedip dan cium disampingnya.
“Norak banget si Arin -_-” kataku dalam hati.
“Gitaaaaaaa” Arin berteriak.
“Ngga usah teriak juga kali rin” sapa ku
sambil mencium pipi kanan dan kiri gadis berjilbab kuning itu.
“Kenalin , ini Desak”
“Hallo” kata Desak sambil mengulurkan
tangannya.
“Hallo Desak” kata Arin sambil menjabat
tangan desak.
Setelah kami saling bertukar salam, kamipun
berangkat ke rumah kontrakan Arin dikawasan Jakarta Selatan.
“Rumahmu lumayan juga ya rin” kataku sambil
meletakkan koper didalam kamar tamu rumah itu.
“Iya dong hehehe”
“Kamu kenapa sak? Pucet banget tuh muka”
tanya ku sambil duduk disamping desak.
“Kayaknya aku jetlag deh ta”
“hahaha, yaudah tidur deh sana”
“ngga kamu
suruh juga aku bakal tidur ta” timpalnya singkat dan langsung merebahkan
tubuhnya ke kasur.
Tiga hari di Jakarta jadi pengalaman
tersendiri buat ku dan Desak. Desak selalu mengeluh tentang kemacetan yang
tidak ada di Bali dan tentunya harus pergi dengan angkot yang sama sekali belum
terpikirkan dibenaknya, tapi Desak selalu bilang kalau Jakarta adalah engalaman
terbarunya, dan dia senang mengalaminya. Bertolak belakang dengan desak, tiga
hari di Jakarta aku masih belum memutuskan untuk menghubungi Galih. Entah kapan
aku memiliki keberanian untuk menghubunginya lagi setelah perdebatan kami
sebulan yang lalu. Perdebatan tentang masa depan dan takdir yang akan kita
lalui bisa saja berbeda. Aku menunggu kepastian, hingga saat ini.
“Eh, gita, desak, bantuin aku yuk”
“Bantuin apa rin?” Desak yang menjawabnya
karena aku terlalu malas untuk membuka mulutku, mataku hanya menatap kosong
pada layar tv sedangkan pikiranku entah ada dimana. Aku hanya mendengarkan
diskusi singkat antara Arin dan Desak sambil sesekali menoleh ke arah mereka
dan menganggukkan kepala untuk menandai bahwa aku menyimak dan kau setuju,
padahal tidak. Arin meminta bantuan kepada ku dan Desak untuk mengatur sebuah
acara pernikahan yang diurus oleh EO milik tante nya di daerah Tangerang.
Dengan dalih bahwa aku pintar membuat konsep suatu acara lihambah dengan tittle
sarjana Teknologi Informasi dibelakang nama ku dan desak, Arin bepikir bahwa
kami orang yang tepat untuk dimintai
tolong. Dengan senang hati Desak pun mengiyakan permintaan arin.
Tak tanggung-tanggung, malam itu pun kami
langsung bkerja menyiapkan ini dan itu, mulai dari konsep, ruangan, rundown
acara, gaun pengantin, hingga catering. Sebenarnya sebelum kami ikut membantu,
pekerjaan itu sudah dimulai sebulan lalu, dan sekarang hanya tinggal tahap
penyempurnaan yang harus kami bertiga selesaikan. Pernikahan dengan konsep
modern sederhana ini akan menjadi acara pernikahan yang sangat manis menurutku,
pengantin wanita akan mengenakan gaun berwarna biru muda dengan kerudung dan
selendang senada dengan warna gaun. Foto desain tempat resepsi juga sangat
cantik dengan aksen bunga mawar biru dimana-mana.
“Eh ta, cowo mu ngga nyamperin kamu kesini?
Kata kamu mau mau ketemu dia” tanya Desak disela-sela pekerjaan kami malam itu.
“Masih sibuk kali sak, biarin aja hahaha”
jawabku ringan.
“Oh iya yah, cowo mu kan di Jakarta juga,
baru inget aku”
“jangan-jangan kamu udah putus ya sama si Galih?”
tanya Desak curiga.
“Ah, yang bener sak?” Arin ikut-ikutan
curious.
“Kalian ngaain sih ah, aku belom putus kok.
Udah deh ngomongin cowonya, jadi nonton kita nih?” kataku mengalihkan
pembicaraan.
“Kita nontonnya abis acara ini aja yah, tiga
hari lagi, di Tangerang sekalian”
“Boleh-boleh” timpal desak.
Arin dan
Desak kembali terjebak obrolan seru tentang film apa yang akan kami tonton
nantinya. Dan aku sangat lega karena terbebas dari pertanyaan yang entah
bagaimana aku bisa berkata jujur pada mereka tentang hubunganku dengan Galih
saat ini. Entahlah...
Kami bertiga berangakat sangat pagi sekali
atau bahkan belum dikatakan pagi dari Jakarta selatan menuju Tangerang. Ya,
acara pernikahan yang diatur oleh EO tantenya Arin akan diselenggarakan hari
ini, dan tentunya sebagai bagian dari EO kami bertiga harus menghadiri acara
itu. Desak dan Arin kembali terlelap dalam mobil, melanjutkan entah mimpi
mereka yang mana, sedangkan aku masih terjaga melanjutkan lamunan dan
pemikiran-pemikiranku entah yang mana pula. Satu yang pasti bahwa pikiranku
saat ini kembali pada waktu sebulan lalu, saat Galih mengirimkanku sebuah pesan
singkat.
“Gita, aku perlu ngomong sesuatu
sama kamu”
Galih : 22.00
“Ngomong soal apa lih?”
Sent to Galih
“Git, aku dijodohkan oleh kedua
orang tuaku”
Galih : 22.08
“Terus aku?”
Sent to Galih
“Aku masih bingung ta, aku sayang
sama kamu, tapi aku juga bingung gimana jelasinnya ke orang tua ku”
Galih : 22.15
“Emang km ga bs lngsung bilang ya
kalo km udh sm aku? Ga bsa km tolak?”
Sent to Galih
“Mungkin bisa, mungkin juga tidak.
Cewe itu anak teman ayahku ta”
Galih : 22.22
“Km sadar ga sih lih klo aq udh
nungguin km 3th? Km nglepasin aku gtu aja?”
Sent to Galih
“Aku msh blm tau ta, aku bingung”
Galih : 22.30
“Harusnya km ngga ush bingung klo
km udh punya pilihan dr awal. Km bkn bingung gmna nolaknya kan? Km bingung sm
prasaan km sendiri kan?”
Sent to Galih
“Aku ngga kaya gitu ta, aku Cuma ga
enak sama kelurgaku sama keluarganya dia juga”
Galih : 22.35
“Aku ngga ngerti sm jalan pikiranmu
lih, shrsnya km bisa tetep mertahanin aku kalo km emng sayang sm aku. Tp
kayaknya ngga lagi”
Sent to Galih
“Gita, km bisa ngasih aku waktu?
Bakal aku pikirin lagi”
Galih : 22.47
Saat itu aku sangat ingin
menanyakan berapa lama waktu yang kamu minta? dan aku juga ingin mengatakan
bahwa berapa lamapun aku akan menunggumu. Tapi, emosi mengalahkan naluriku.
“Terserah kamu” .
Sent to Galih.
Pesan singkat yang hanya berdurasi 47 menit
itu benar-benar mengoyak perasaanku. Dua tahun kami bersama dan tiga tahun aku
menunggunya, sekarang dia memintaku untuk memberinya waktu untuk mentukan pilihan
hidupnya. Konyol. Pikiran-pikiran kelam itu menyelimuti seluruh alam bawah
sadarku hingga mobil terparkir di tempat parkir sebuah gedung tinggi
dipinggiran kota Tangerang.
Saat kami menginjakkan kaki di gedung tempat
resepsi, belum sempat aku menyelesaikan keterkagumanku pada desain dan konsep
yang kami buat jadi begitu indah dikehidupan nyata, kami langsung membagi
tugas. Arin mengatur tata ruangan, Desak mengatur Rundown acara sedangkan aku
yang malas bertemu dengan orang banyak lebih memilih untuk berada dibelakang
layar, megatur lighting, sound dan LCD yang akan digunakan sebagai layar
bioskop film dokumenter dan foto-foto kedua mempelai.
Dua jam kemudian acara pun dimulai, Desak dan
Arin terlihat mondar-mandir dari cctv yang ada dirunaganku. “Mereka lucu”
kataku dalam hati.
“Ta, jangan lupa, kalo aku ngasih aba-aba
kamu langsung puter videonya yah” sms arin.
“Iyeee” Jawabku singkat.
Aku kembali menghadap laptop dan
mempersiapkan video yang berisi sedikit film dokumenter dan slide show foto
kedua mempelai. 10 menit kemudian, Arin memberikan aba-aba, aku langsnung
menekan tombol enter dan video itu pun terputar.
Tanpa melihat isi video aku beranjak ke Kamar
mandi.
“Nitip ini bentar ya bang, aku mau ke Kamar
mandi dulu” kataku pada abang yang duduk disampingku sebagai soundman.
“Siiip” katanya sambil mengacungkan jempol.
Aku sempat kesulitan mencari kamar mandi,
karena banyaknya orang yang lalu lalang disepanjang koridor gedung ini. Dengan
sedikit bertanya pada orang-orang yang memakain nametag sama seperti ku, aku
berhasil menemukan kamar mandi. Lega, begitu perasaanku ketika berhasil mencuci
muka ku di westafel kamar mandi. Aku menatap dalam-dalam pada cermin didepanku
dan sesekali mengutuk betapa bodohnya aku yang tanpa kepastian dan harapan
kosong kini telah berada di Jakarta utnuk menemui seseorang yang bahkan saat
ini entah dimana. Tatapanku kearah cermin semakin mendalam ketika sesuatu yang
mengganjal dan yang menjadi penghambat perjalananku ke kamar mandi adalah saat
mataku mulai menangkap sosok-sosok yang aku kenal dalam perjalananku ke kamar
mandi muncul kembali. “Kok banyak senior ku waktu SMA ya?” batinku. Beberapa
dari mereka yang aku tahu adalah kak Ihsan dan kak Umbu, yang notabene adalah
teman Galih waktu SMA. Sejenak otak ku berpikir, kalau kak Ihsan dan kak Umbu
disini berarti kemungkinan ini acara pernikahan teman seangkatan mereka, dan
kemungkinan besar Galih juga ada disni.
“Anggita” sapa seseorang yang benar-benar
membuatku terkejut
“Putriiiii” teriak ku pada gadis berpipi
tembem ini.
“Gita kok bisa disini?”
“Aku bantuin temen put, EO disini kebetulan
tantenya temenku. Loh, ini nikahan siapa sih put? Temen mu? Kok aku liat tadi
banyak senior waktu SMA ya? Dan kebanyakan sih temennya Galih, kamu liat dia
disini ngga put?”. Pertanyaanku membom-bardir kesadarannya. Sangat wajar kalau
aku bertanya ini itu soal Galih pada putri, karna memang putri adalah tetangga Galih,
oh benar, mungkin Putri tahu dimana Galih sekarang.
“Put, eh putri” tanyaku sekali lagi.
“Oh?” Putri agak terkejut dengan pertanyaanku
yang entah dimana salahnya
“Kenapa put? Kaget gitu?”
“Kamu ga tau ini acara siapa ta?”
“Engga, siapa emang? Temen SMA kita juga ya
apa senior kita?”
“Eeeeem” Putri berpikir sebelum dia
melanjutkan kata-katanya.
“Kita ngobrol di luar aja yuk ta, ngga enak
kalo ngbrol di kamar mandi kayak gini.”
“Iya juga sih hahaha”
Aku dan putri menuju salah satu cafe yang ada
di dalam gedung itu, bercerita panjang lebar tentang kehidupan kami
masing-masing. Dan sepertinya putri berhasil mengalihkan pembicaraan sehingga
aku tak bertanya lagi “Acara pernikahan siapa ini? Dan dimana Galih sekarang”.
“Ya ampun put, aku mesti balik nih, acaranya
udah hampir selesai” kataku sambil melihat ke arah jam tangan.
“Oh iya ta, kamu harus cepet balik. Sana sana
gih” Putri mengusirku.
“Duluan ya put” kataku padanya.
Ada sedikit tatapan kurang mengenakkan dimata
putri saat dia melambaikan tangnnya kepadaku, tapi apa ya? Aku hanya
mengabaikannya dan belari menuju tempat asalku. Sesekali tanpa senagaja senyum
terbentuk di bibirku membayangkan aku bisa bertemu dengan Galih dan bisa
berbicara padanya. Senyum itu tetap tersungging sampai aku kembali ke tempat
ku.
“Sorry bang, lama. Tadi ketemu sama temen SMA
saoalnya”
“Oh ga apa2, ini masih ada satu video lagi
buat penutup. Lima menit lagi ya”
“Oh, oke bang. Aku siapin sekarang.”
Aku kembali asyik mengatur ini dan itu agar
kulitas video yang tampil bisa sebagus mungkin. “Oke, ready” kataku dalam hati.
“Mulai mbak” seru abang soundman.
Dan “klik” aku menekan tombol enter di
laptop. Aku melihat opening video itu, merasa kagum dengan elihannya. “Lumayan
juga nih elihannya” batin ku dalam hati. Aku menyandarkan punggungku ke
punggung kursi dan memutarnya menjauhi layar laptop. Aku membuka hp dan
memainkan bebrapa game disana. 5 menit aku bosan main game, aku meletakkan hape
diakntong dan membalikkan badan kembali menghadap layar laptop. Alngkah terkejutnya aku ketika melihat
foto-foto dalam video itu.
“Galih?”.
Sejenak aku kehilangan akal sehatku ketika
mata terus mengikuti jalannya video itu. “Ini Galih, dan ini juga jawaban atas
semua pertanyaanku”. Lirihku. Rasanya begitu sakit bahkan untuk menelan ludahku
sendiri. Aku menyandarkan punggungku ke
punggung kursi. Terasa hampa seketika. Tapi tubuhku rasanya melayang, tanpa
gravitasi, seperti jiwa yang terlepas dari raga. Entah berapa lama aku
termenung dan kehilangan akal sehatku. Sepertinya SMS Arin berhasil membawaku
kembali ke Alam sadar ku.
“Ta, cepetan turun, kita ketemu sama
pengantinnya, acaranya udah selesai kali ta, betah banget disana sama Abang
soundmand hahaha”
Tanpa membalas pesannya, kakiku yang lemas
secara otomatis melangkah menuruni beberapa anak tangga menuju pelaminan. Aku
berjalan dengan linglung, tabrakan bahu dengan oang yang berjalan berlawanan
arah dengan ku tak juga menyadarkanku
hingga aku mengangkat pandanganku kearah pelaminan biru muda itu. Dari
kejauhan, aku melihat dua mempelai, tapi entah kenapa pandanganku terasa kabur.
Aku tetap tak bisa menjernihkan pengelihatkanku, atau entah aku yang tidak
ingin menjernihkannya?. Kakiku yang lemas terus membawaku hingga sampai tepat
pada pelaminan biru muda itu. Masih dengan penglihatan yang kabur, aku melihat
sosok Arin dan Desak sedang berbincang dengan kedua mempelai. Ketika aku sampai
tepat disamping Arin, suatu mukjizat mataku bisa kembali jernih.
“Anggita?” sebuah sapaan yang terdengar
seperti sebuah keterkejutan keluar dari mulut mempelai pria.
Aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun,
mataku kembali menjadi rabun dan akan kembali jelas dketika aku mengedipkan
mata. Yang aku tahu saat pandanganku mulai jelas, aku benar-benar percaya bahwa
sosok berjas hitam didepan ku adalah Galih , dan saat pandanganku mulai jelas
aku merasakan ada air yang membasahi pipiku. Hingga akhirnya aku tahu bahwa itu
adalah Air mata.
Sepertinya tubuh dan perasaanku benar-benar
tak sinkron, dengan sedikit menyunggingkan senyum, dan linangan airmata, hanya tiga
kata yang keluar dari bibir ku “Semoga Kamu Bahagia”.
Aku pun berbalik dan melangkahkan kaki ku
meninggalkan ruangan itu tanpa menghiraukan teriakan Arin dan Desak yang
memanggil namaku.
0 komentar:
Posting Komentar